BAB I
PENDAHULUAN
Bimbingan
Konseling merupakan suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yang diberikan kepada
individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah.
Agar dalam proses Bimbingan dan Konseling berjalan dengan baik, maka dibutuhkan
Konselor. Konselor adalah seorang yang mempunyai keahlian dalam konseling.
Tugas
konselor yaitu: Memasyarakatkan kegiatan bimbingan dan konseling (terutama
kepada siswa); Merencanakan program bimbingan dan konseling bersama koordinator
BK; Merumuskan persiapan kegiatan bimbingan dan konseling; Melaksanakan layanan
bimbingan dan konseling terhadap siswa yang menjadi tanggung jawabnya
(melaksanakan layanan dasar, responsif, perencanaan individual, dan dukungan
sistem); Mengevaluasi proses dan hasil kegiatan layanan bimbingan dan
konseling; Menganalisis hasil evaluasi.
Agar
Konselor dapat menjalankan tugasnya dengan baik, Konselor harus mempunyai sikap
dan keterampilan, keefektifan konselor, kompetensi konselor, kreativitas
konselor dalam mengambil keputusan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Konselor
Konselor
adalah seorang yang mempunyai keahlian dalam konseling. Konselor bergerak
terutama dalam konseling di bidang pendidikan, tapi juga merambah pada bidang
industri dan organisasi, penanganan korban bencana, dan konseling secara umum
di masyarakat. Khusus bagi konselor pendidikan yang bertugas dan bertanggung
jawab memberikan layanan bimbingan konseling kepada peserta didik (di satuan
pendidikan sering disebut Guru BP/BK atau Guru Pembimbing.[1]
B.
Sikap dan Keterampilan Konselor
Sikap
dan keterampilan merupakan dua aspek penting kepribadian konselor. Sikap
sebagai suatu disposisi tidaklah tampak nyata, tidak dapat dilihat bentuknya
secara langsung. Berbeda dengan sikap, keterampilan dapat tampak wujudnya dalam
perbuatan.
1. Sikap
Dasar Konselor
a.
Penerimaan
Penerimaan sebagai salah satu sikap
dasar konselor mengacu pada kesediaan konselor memiliki penghargaan tanpa
menggunakan standar ukuran atau persyaratan tertententu terhadap individu
sebagai manusia atau pribadi secara utuh. Ini berarti konselor menerima setiap
individu klien yang datang kepadanya, dalam konseling, tanpa menilai
aspek-aspek pribadinya yang “lemah” ataupun yang “kuat”. Jadi, penerimaan
merupakan komponen penting dari penghargaan konselor terhadap klien, dan
merupakan dasar proses konseling secara keseluruhan.
b.
Pemahaman
Konselor diharapkan memiliki
pemahaman terhadap klien, bukan berarti bahwa konselor mengerti batin klien
sebagaimana mengerti isi suatu bacaan. Konselor tidak dituntut berlayan sebagai
ahli kebatinan yang dengan tenaga “paranormalnya” mungkin dapat “melihat” batin
orang. Konselor, menurut Jones, Stafflre dan Stewart (1979), hendaknya memahami
siswa atas dua tingkat. Hasil observasi, catatan konferensi, dan hasil-hasil
tes tersedia sebagai bahan pemahaman (tingkat pertama: tingkah laku). Akan
tetapi menurut mereka siswa baru merasa bahwa ia dipahami jika komunikasi
dengan konselor bergerak dalam tingkat perasaan; dan konselor menunjukkan bahwa
dia paham dunia siswa dan menerima rasa takut dan harapan-harapan siswa
sebagaimana siswa melihatnya. Karena itu, menurut ketiga penulis tadi, konselor
hendaknya lebih condong berfikir dengan (bersama-sama) daripada tentang
atau mengenai siswa (klien).
c.
Kesejatian dan Keterbukaan
Kesejatian pada dasarnya menunjuk
pada keselarasan (harmoni) yang mesti ada dalam fikiran dan perasaan konselor
dengan apa yang terungkap melalui perbuatan ataupun ucapan verbalnya.
Keterbukaan pada konselor merupakan
kualitas pribadi yang dapat disebut sebagai cara konselor mengungkapkan
kesejatiannya. Keterbukaan yang sepantasnya itu, berarti konselor mesti terbuka
dan jujur dalam semua hal.
2. Keterampilan
Dasar Konselor
a.
Kompetensi Intelektual
Keterampilan konselor dilandasi
oleh pengetahuan siap pakai mengenai tingkah laku manusia, pemikiran yang
cerdas, dan kemampuan mengintegrasikan peristiwa yang dihadapi dengan
pendidikan dan pengalamannya.
b.
Kelincahan Karsa-cipta
Kelincahan karsa-cipta konselor
dalam memilih dengan cepat dan tepat respon yang bijak. Kelincahan ini terutama
sekali terasa pentingnya pada saat interview konseling dimana klien
mengemukakan pernyataan-pernyataan verbal ataupun nonverbal.
c.
Pengembangan Keakraban
Keakraban mengacu pada suasana
hubungan konseling yang bercirikan suasana santai, keselarasan, kehangatan,
kewajaran, saling memudahkan dalam percakapan, dan saling menerima antara klien
dengan konselor.
Meskipun suasana akrab yang baik
itu berada pada kedua pihak (konselor dan klien), namun tanggung jawab
penciptaan dan pemantapan sepenuhnya berada di tangan konselor.[2]
C.
Keefektifan Konselor
1. Faktor-faktor
Pembeda Umum
a.
Pengalaman
Banyak bukti bahwa pengalaman
merupakan variabel penting bagi keefektifan konselor. Pengalaman yang banyak
dan luas konselor akan mendukung kelancaran proses konseling.
b.
Tipe Hubungan Konseling
Keefektifan konseling berkenaan
dengan tipe hubungan yang diciptakan oleh konselor dengan kliennya. Pada
dasarnya, konselor yang berhasil sampai pada tipe hubungan perasaan dan
mengeksplorasi perasaan klien adalah konselor yang lebih berhasil dibandingkan
dengan yang bertipe hubungan obyektif, rasional-kognitif semata.
c.
Faktor-faktor Nonintelektif
Studi
mengenai hubungan antara keefektifan konselor dengan kepribadian menunjukkan
bahwa konselor yang efektif dapat dibedakan dari yang tidak efektif dalam hal:
1) Citra-diri,
motivasi, nilai-nilai, perasaan mengenai orang lain, dan tatanan perseptual
2) Unjuk-kerjanya
dalam tes-tes kepribadian yang terstandar dan inventori minat. Di samping itu,
konselor yang efektif bersangkutan pula dengan adanya sikap toleran terhadap
pertentangan, penuh pemahaman terhadap klien, kematangan, dan kemampuan
menciptakan hubungan sosial dengan nonklien.
2. Ciri-ciri
Khusus Kemampuan Konselor Efektif
Ciri-ciri
Konselor efektif, khusus berkenaan dengan kemampuan, dikemukakan secara lebih
rinci oleh Eisenberg dan Delaney (1977)[3],
yang disadur singkat sebagai berikut:
a. Para
helper yang efektif sangat terampil mendapatkan keterbukaan
b. Para
helper yang efektif membangkitkan rasa percaya, kredibilitas, dan keyakinan
dari orang-orang yang mereka bantu
c. Para
helper yang efektif mampu menjangkau wawasan luas, seperti halnya mereka
mendapatkan keterbukaan
d. Para
helper yang efektif berkomunikasi dengan hati-hati dan menghargai orang-orang
yang mereka upayakan bantu
e. Para
helper yang efektif mengakui dan menghargai diri mereka sendiri dan tidak
menyalahgunakan orang-orang yang mereka coba bantu untuk memuaskan kebutuhan
pribadi mereka sendiri
f. Para
helper yang efektif mempunyai pengetahuan khusus dalam beberapa bidang keahlian
yang mempunyai nilai bagi orang-orang tertentu yang akan dibantu
g. Para
helper helper yang efektif berusaha memahami, bukannya menghakimi, tingkah-laku
orang yang diupayakan bantu
h. Para
helper yang efektif mampu bernalar secara sistematis dan berfikir dengan pola
sistem
i. Para
konselor yang efektif berpandangan mutakhir dan memiliki wawasan luas terhadap
peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan manusia
j. Para
helper yang efektif mampu mengidentifikasi pola tingkah-laku yang merusak-diri
(Self-defeating) dan membantu orang lain untuk berubah dari tingkah laku
merusak diri ke pola-pola tingkah laku yang secara pribadi lebih memuaskan
k. Para
helper yang benar-benar efektif sangat terampil membantu orang-orang lain
melihat diri sendiri, dan merespons secara tidak defensif terhadap
pertanyaan “Siapakah Saya?”
3. Ciri-ciri
Khusus Perseptual Konselor yang Baik
Atas
hasil penelitian, Comb, dkk. (1971)[4]
mengajukan bahwa konselor yang baik mempunyai ciri-ciri perseptual tertentu.
Ciri-ciri dimaksud meliputi keyakinan terhadap konseli, terhadap diri (self),
dan terhadap tujuan-tujuan yang dicapai melalui helping. Lengkapnya, pandangan
Comb, dkk. Itu diadaptasikan sebagai berikut:
a. Para
konselor yang baik lebih bercenderung berpersepsi:
1) Dari
kerangka acuan internal daripada kerangka acuan eksternal. Para konselor peka
terhadap (dan memperhatikan bagaimana) orang lain, teman kontaknya, memandang
sesuatu, dan para konselor menjadikan ini sebagai dasar menyesuaikan tingkah
laku mereka
2) Kepada
orang daripada benda. Fikiran para konselor lebih berpusat pada orang dan
reaksi-reaksi orang daripada memperhatikan benda-benda atau peristiwa-peristiwa
b. Para
konselor yang baik akan mempersepsi orang lain sebagai:
1) Mampu
daripada tak mampu. Para konselor memandang orang lain mempunyai kecakapan
mengatasi masalah-masalahnya. Mereka mempunyai keyakinan bahwa orang-orang lain
dapat menemukan pemecahan adekuat dan bukannya meragukan kemampuan orang lain
mengurasi diri sendiri dan kehidupan sendiri
2) Patut
percaya daripada sangsi. Para konselor menghargai orang lain sebagai insan yang
secara esensial patut dipercaya daripada disangsikan. Mereka menaruh
kepercayaan dalam hal keseimbangan dan keajegan orang lain, dan tidak menaruh
sangka terhadap orang lain
3) Peramah
daripada tak-acuh. Para konselor mempersepsi orang lain sebagai insan peramah
dan pendukung. Mereka tidak mempersepsi orang lain sebagai insan yang
mengancam, tapi sebaliknya mempersepsi orang lain sebagai insan yang secara
esensial bermaksud baik ketimbang bermaksud jahat
4) Berguna
daripada sia-sia. Para konselor cenderung melihat orang lain sebagai insan yang
berguna daripada tidak bermanfaat.
5) Suka
membantu daripada suka menggangu. Para konselor melihat orang secara potensial
suka membantu dan mendukung daripada suka merintangi atau suka mengancam
6) Termotivasi
secara internal daripada secara eksternal. Para konselor melihat orang
bertingkah laku atas dorongan-dorongan dari dalam diri daripada atas dorongan
kejadian-kejadian luar. Orang-orang dilihat oleh konselor sebagai lebih
bersifat kreatif, dinamis daripada pasif.
c. Para
konselor yang baik mempersepsi diri sendiri sebagai:
1) Beridentifikasi
pada orang daripada menghindari orang. Para konselor cenderung melihat diri
sendiri selaku bagian darinumat manusia; mereka melihat diri sendiri lebih
selaku orang yang mendekat, berbuat sama, dengan orang daripada selaku orang
yang mengundurkan diri, menjauhkan diri, atau mengasingkan diri dari orang lain
2) Memadai
daripada tidak berdaya. Para konselor melihat diri cukup memadai secara umum;
sebagai orang yang memiliki hal-hal yang diperlukan guna menghadapi masalah-masalahnya
sendiri. Mereka tidaklah menilai diri sebagai kurang atau tidak berdaya
menanggulangi masalahnya sendiri
3) Berguna
daripada sia-sia. Para konselor memandang dirinya sendiri sebagai orang yang
memiliki martabat, kemuliaan, integritas dan dayaguna
4) Terpercaya
daripada meragukan. Para konselor meyakini tatanan pribadinya sendiri dan
memandang diri sendiri secara esensial terpercaya dan memiliki potensi
mengahadapi permasalahan
d. Para
konselor yang baik mempersepsi tujuan-tujuan mereka sebagai:
1) Membebaskan
daripada mengendalikan. Tujuan-tujuan para konselor secara esensial adalah
bersifat membebaskan dan memberi kemudahan daripada membatasi, menguasai,
memaksa, atau mendalangi
2) Altruistis
daripada narsistis. Para konselor tampak di motivasi oleh perasaan yang lebih
mengutamakan kepentingan orang lain (altruisme) daripada kesenangan diri
sendiri, atau cinta diri (narcissisme). Mereka memperhatikan orang-orang
lain dan tidak selalu memperhatikan diri sendiri
3) Memperhatikan
makna yang luas daripada yang sempit. Para konselor cenderung melihat sesuatu
peristiwa secara lebih luas daripada perspektif sempit. Mereka melihat adanya
konotasi-konotasi kejadian secara luas, lebih besar, implikasi-implikasi lebih
jauh, daripada yang khusus atau sesaat
4) Membuka
diri daripada menutup-nutupi diri. Para konselor lebih cenderung mengungkap kan
diri daripada merahasiakan diri; artinya, mereka mau menyingkap keadaan dirinya
sendiri
5) Melibatkan
daripada menhindar. Para konselor melibat secara pribadi dengan orang-orang
yang dihadapi. Mereka menciptakan komitmen mengenai proses bantuan dan mau
masuk dalam interaksi
6) Berorientasi
pada proses daripada berorientasi pada tujuan. Para konselor memandang peranan
mereka selaku pendukung dan pelancar proses penjajakan dan penemuan, dan
bukannya mengarah atau bekerja ke arah tujuan pribadi yang sudah diketahui
sebelumnya
Syarat-syarat
bagi keefektifan konselor, seperti dibeberkan dalam tiga poin di atas memang
tampak ideal. Ada sekurang-kurangnya dua makna dari ciri ideal seperti itu:
1) Bagi
konselor pemula dan calon konselor dapat membandingkan karakteristik diri yang
dimiliki dengan karakteristik ideal yang tersedia, selanjutnya mengenali
bidang/ lokasi karakteristik yang layak pada dirinya, serta mengadakan
modifikasi dan pengembangan karakteristik diri yang cocok untuk menjadi
konselor efektif
2) Bagi
lembaga pendidikan/ pelatihan konselor dapat merancang pola seleksi mahasiswa
yang cocok dari segi kepemilikan karakteristik layak konselor efektif, serta
merancang jenis dan isi pengalaman belajar yang mendukung pencapaian
karakteristik konselor efektif
4. Konselor
yang Tidak Efektif: Perbedaannya dengan Konselor yang Intensional
Dalam
hal ini, Allen E. Ivey (1980)[5]
mengemukakan ciri-ciri konselor yang tidak efektif dibandingkan dengan konselor
intensional:
Perbedaan antara konselor yang
intensional dengan konselor yang tidak efektif[6]
Atribut
|
Konselor
yang intensional
|
Konselor
yang tidak efektif
|
Tujuan Helping
|
Berusaha membantu klien
mencapai tujuan-tujuan klien menurut agenda klien. Mau menyarankan pandangan
alternatif dan menyediakan arahan dalam beberapa hal
|
Berusaha memaksakan
tujuan-tujuannya sendiri mengikuti agendanya sendiri. Mungkin tidak bersedia
menyediakan arahan dan dukungan yang jelas diperlukan
|
Pengungkapan respon-respon
|
Dapat mengungkapkan dan
melhirkan banyak respon bagi berbagai macam ragam situasi dan persoalan/
konseren
|
Mungkin tidak memiliki respon
atau berpegang teguh pada satu cara respon tertentu saja
|
Wawasan pandang
|
Berpemahaman dan bertindak/
berbuat atas berbagai wawasan pandang
|
Mungkin tidak memiliki wawasan
pandang atau mampu bekerja hanya dalam satu kerangka kerja
|
Teori-teori psikologis
|
Berpemahaman dan bekerja dalam
sejumlah kerangka kerja psikologis. Melihat nilai-nilai potensial dalam
banyak ancangan yang tersedia
|
Dapat berbuat/ bekerja dalam
satu teori psikologis; memahami secara terbatas kerangka kerja yang lain
|
Intensionalitas budaya
|
Mampu mengungkap kan
pernyataan-pernyataan verbal dan nonverbal dalam jumlah maksimum guna
berkomunikasi dengan orang-orang sebudaya dengannya dan juga orang dari
sejumlah budaya lain
|
Mampu berfungsi dalam hanya
satu kerangka budaya
|
Kerahasiaan
|
Mempertahankan rahasia klien
|
Mendiskusikan/
membicarakankehidupan klien dengan orang-orang lain tanpa izin
|
Keterbatasan
|
Mengakui keterbatasannya dan
bekerja dengan supervisi. Saling bertukar pikiran dalam hal teori, konsep dan
pengalaman pribadi dalam interview dengan konselor-konselor lain
|
Bertindak anpa mengenali
keterbatasan sendiri dan bekerja tanpa supervisi. Tidak mau bertukar fikiran
dalam kegiatan profesional dengan orang-orang lain
|
Penyaringan informasi
|
Berfokus pada pemikiran dan
perasaan klien dalam interview dan tidak mengatakan ditel-ditel yang tidak
relevan
|
Memusatkan perhatian yang
sugguh-sungguh pada ditel-ditel yang tidak relevan bagi masalah klien. Suatu
saat dapat mengabaikan perasaan dan pemikiran klien
|
Pengaruh antar pribadi
|
Menyadari sejauh mana responnya
mempengaruhi klien dan sejauh mana respon klien mempengaruhi konselor
|
Kurang kesadaran akan pengaruh
antar pribadi. Bahkan mungkin menyangkal/ mengingkari bahwa klien berpengaruh
dalam proses konseling
|
Martabat manusia
|
Memperlakukan para klien dengan
perhatian, kepedulian, dan ketulusan
|
Memperlakukan para klien secara
tidak tulus, tanpa perhatian penuh, tanpa perasaan, dan mungkin dengan
cara-cara yang merugikan/ membahayakan klien
|
Teori umum
|
Secara terlibat dengan
pengujian diri dan wawasan pandangnya sendiri, menguasai secara mantap
teori-teori baru, dan mengembangkan secara sistematis teori-teori konseling sendiri
yang unik. Setelah mendalami (studi) mungkin memutuskan untuk sepakat atau
menerima penuh suatu ancangan teoritis
|
Secara “membabi-buta (taklid)
memakai satu jenis/ bidang teori tunggal dengan tiada pemikiran alternatif,
atau tidak mampu sama sekali memaknakan secara sadar berbagai ancangan yang
sistematis
|
D.
Kompetensi Konselor
1. Keterampilan
Interpersonal
Konselor yang efektif mampu
mendemonstrasikan perilaku mendengar, berkomunikasi, empati, kehadiran (present),
kesadaran komunikasi non verbal, sensitivitas terhadap kualitas suara,
responsivitas terhadap ekspresi emosi, pengambilalihan, menstruktur waktu,
menggunakan bahasa.
2. Keyakinan
dan Sikap Personal
Kapasitas untuk menerima yang lain,
yakin adanya potensi untuk berubah, kesadaran terhadap pilihan etika dan moral.
Sensitivitas terhadap nilai yang dipegang oleh klien dan diri.
3. Kemampuan
Konseptual
Kemampuan untuk memahami dan
menilai masalah klien, mengantisipasi konsekuensi tindakan di masa depan,
memahami proses kilat dalam kerangka skema konseptual yang lebih luas,
mengingat informasi yang berkenaan dengan klien. Fleksibilitas kognitif, dan
keterampilan dalam memecahkan masalah.
4. Ketegaran
Personal
Tidak adanya kebutuhan pribadi atau
keyakinan irasional yang sangat merusak hubungan konseling, percaya diri,
kemampuan untuk menolerasi perasaan yang kuat atau tak nyaman dalam hubungan
dengan klien, batasan pribadi yang aman, mampu untuk menjadi klien. Tidak
mempunyai prasangka sosial, etnosentrisme dan autoritarianisme.
5. Menguasai
Teknik
Pengetahuan tentang kapan dan
bagaimana melaksanakan intervensi tertentu, kemampuan untuk menilai efektivitas
intervensi, memahami dasar pemikiran di belakang teknik, memiliki simpanan
intervensi yang cukup.
6. Kemampuan
untuk Paham dan Bekerja dalam Sistem Sosial
Termasuk kesadaran akan keluarga
dan hubungan kerja dengan klien, pengaruh agensi terhadap klien, kapasitas
untuk mendukung jaringan dan supervisi. Sensitivitas terhadap dunia sosial
klien yang mungkin bersumber dari perbedaan gender, etnis, orintasi seks, atau
kelompok umur.
7. Terbuka
untuk Belajar dan Bertanya
Kemampuan untuk waspada terhadap
latar belakang dan masalah klien. Terbuka terhadap pengetahuan baru.
Menggunakan riset untuk menginformasikan praktik.[7]
E.
Kreativitas Konselor Dalam
Mengambil Keputusan
1. Teori
Konseling Mengenai Kreativitas
Kreativitas
adalah kemampuan untuk memunculkan sesuatu yang baru dalam kondisi yang lama
(mapan), bersifat spontan, dan kebebasan untuk mencipta. Mengenai kreativitas,
beberapa teori konseling menjelaskan sebagai berikut:
a. Psikodinamika
dari Freud
Freud percaya bahwa mind
(pikiran) terdiri dari tiga strata, yaitu:
1) Conscious
(kesadaran) berhubungan dengan dunia nyata: analitik dan perbuatan sebagai
suatu organizir (organisator) antara inner-self (dunia dalam) dan
outer-self (dunia luar)
2) Unconscious
(ketaksadaran): adalah tempat penyimpanan (gudang-repository)
pemikiran-pemikiran ilogis, irrasional, naluriah, reaksi-reaksi emosional, dan
semua pengalaman sejak lahir
3) Proconscious
(ambang sadar): tempat krusial dimana berada disini kreativitas. Preconscious
ini menyelidiki informasi-informasi yang relevan, menarik, dan merangsang (suggestive)
ke dalam dunia pikiran kesadaran (conscious), yang dapat digunakan dalam
proses mengambil keputusan-keputusan di dunia kesadaran (conscious)
Menurut
aliran psikodinamika, kreativitas adalah hasil dari unconscious
(ketaksadaran) melalui usaha-usaha preconscious untuk mencapai dan
mempengaruhi pembuatan keputusan oleh conscious.
b. Teori
Behavioral tentang Kreativitas
Dua
tokoh behavioral yakni Reece dan Parnes (1975) mengembangkan program pelatihan
untuk memecahkan masalah secara kreatif. Walaupun kreativitas adalah proses
mistik yang disediakan untuk unconscious, tapi disediakan 28 buku untuk
melatih komponen-komponen dari proses kreatif.
Hasilnya
adalah bahwa kreativitas tidak harus dianggap sebagai suatu berkah yang aneh,
akan tetapi yang jelas merupakan keterampilan yang dapat diajarkan.
c. Teori
Psikologi Eksistensial-Humanistik
Carl
Rogers (1975) mengemukakan Teori Pertumbuhan Alamiah (Nature Growth)
terhadap aktualisasi dan pertumbuhan diri untuk mencapai perkembangan potensi
diri yang optimal. Dari pandangan ini, manusia pada dasarnya secara alamiah
adalah kreatif. Dan peran pelatih (guru) adalah mendorong agar siswa secara
spontan kreatif. Guru perlu menciptakan situasi kelas yang kondusif
2. Posisi
Kreativitas dalam Proses Konseling
Didalam
proses konseling, pemikiran kreatif adalah amat penting baik terhadap konselor
maupun klien. Maka konselor yang efektif bukan sama sekali karena sihir/ sulap
akan tetapi adalah karena hasil kerja keras yang bertahun-tahun melalui studi
sistematik dalam profesi konseling digabungkan pengalaman-pengalaman melalui
observasi dan mendengarkan beragam-ragam klien di dalam setting kantor (formal)
dan jalanan (informal)-office and street setting.
3. Mengambil
Keputusan
Tugas
konselor adalah berupaya untuk membangkitkan alternatif-alternatif, membantu
klien menghilangkan pola-pola lama yang tak baik memudahkan terjadinya proses
mengambil keputusan, dan menemukan solusi-solusi yang mengarah untuk meecahkan
masalah. Dalam proses konseling ada tiga tahapan konseling yakni:
a. Tahap
I (awal) : Mendefinisikan Masalah
Pengambil
keputusan di tahap awal mengimplikasikan tiga fase aktivitas yakni:
1) Mendefinisikan
masalah
2) Mempertimbangkan
alternatif definiusi masalah
3) Komitmen
konselor-klien tentang definisi yang terbaik dari sekian alternatif
Proses mengambil keputusan itu
dilukiskan sebagai berikut:

b. Tahap
II (Pertengahan) : Tahap Kerja

c. Tahap
III (Akhir) : Tahap Penentuan Keputusan untuk Bertindak

4. Efektivitas
Konselor dalam Wawancara Konseling
Proses
konseling yang intensional (mendalam) dan efektif akan membantu klien untuk
berkembang secara optimal. Sebaliknya jika proses konseling berjalan tidak
efektif dan kurang mendalam, maka sudah dapat dipastikan akan gagal mencapai
tujuan dan bahkan dapat merusak klien. Menurut hasil penelitian Hadley dan
Stupp (1976) faktor-faktor penyebab yang bisa merusak klien adalah:
a. Terlalu
dalam konselor menggali klien
b. Konselor
terlalu hati-hati dalam menggali klien
c. Aplikasi
teknik
d. Hubungan
konseling
e. Masalah
komunikasi
f. Fokus
g. Kelemahan
konselor
Konselor
yang efektif mempunyai kemampuan melihat bagaimana keadaan klien saat ini, dan
dapat memilih intervensi yang sesuai (strategi dan teknik) untuk menunjang
kemampuan dan keterampilan konselor perlu kepribadian yang empati. Empati
merupakan kunci menjadikan hubungan konseling berkualitas
Empati
amat dekat dengan dimensi-dimensi konselor lainnya yaitu:
a. Positive
Regard (Menghargai dengan Positif)
Positive
regard menuntut konselor agar menemukan asset dan kekuatan
klien dan terus terang memberikan penghargaan terhadap keunggulan klien.
Keunggulan adalah dunia nyata klien, karena itu harus dipahami konselor.
b. Respect
dan Warmth (Hormat dan Hangat)
Jika
anda mendemonstrasikan bahwa anda respek terhadap klien, yang anda lakukan
adalah apakah anda mendorong atau mengembangkan potensi klien dengan
ucapan-ucapan (verbal) anda, namun harus pula didukung oleh bahasa badan anda. Respek
atau rasa hormat, penghargaan positif, dan kehangatan, bisa berkembang karena
adanya dukungan rasa empati dari konselor.
c. Warmth
(Rasa Hangat)
Pada
prinsipnya warmth berhubungan erat dengan empati. Warmth (rasa hangat) dapat
didefinisikan sebagai suatu sikap emosional terhadap klien, yang dinyatakan
dengan cara-cara nonverbal dan didukung dengan verbal.
d. Concreteness
(Kekonkritan-Bersikap Konkrit)
Wawancara
konseling yang efektif bergerak dari deskripsi-deskripsi yang samar-samar
tentang isu-isu global menuju diskusi yang konkrit, spesifik tentang apa yang
telah terjadi dan yang terus terjadi dalam kehidupan keseharian klien
e. Konfrontasi
Konfrontasi
didalam proses konseling didefinisikan yaitu: menunjukkan adanya
diskrepansi-diskrepansi (perbedaan) antara sikap-sikap, pemikiran-pemikiran,
atau perilaku-perilaku. Dalam teknik konfrontasi, individu/ klien dihadapkan
secara langsung dengan fakta, dimana klien mungkin mengatakan lain daripada
yang dia maksud; atau melakukan yang lain/ berbeda dari apa yang dia katakan.
f. Genuineness,
Congruence, Authenticity (Keaslian, Jujur, Otentik)
Dalam
hubungan konseling, seorang konselor harus tampil asli, jujur, pribadi yang
terintegrasi. Dia tampil bebas dan mendalam, dan sadar atas dirinya sendiri.
Konselor adalah benar-benar dirinya (otentik).[8]
BAB III
PENUTUP
Konselor
adalah seorang yang mempunyai keahlian dalam konseling. Sikap dan keterampilan
merupakan dua aspek penting kepribadian konselor. Sikap sebagai suatu disposisi
tidaklah tampak nyata, tidak dapat dilihat bentuknya secara langsung. Berbeda
dengan sikap, keterampilan dapat tampak wujudnya dalam perbuatan.
Keterampilan
Dasar Konselor yaitu kompetensi intelektual, kelincahan karsa-cipta,
pengembangan keakraban. Kompetensi Konselor yaitu Keterampilan Interpersonal,
Keyakinan dan Sikap Personal, Kemampuan Konseptual, Ketegaran Personal,
Menguasai Teknik, Kemampuan untuk Paham dan Bekerja dalam Sistem Sosial,
Terbuka untuk Belajar dan Bertanya.
Kreativitas
adalah kemampuan untuk memunculkan sesuatu yang baru dalam kondisi yang lama
(mapan), bersifat spontan, dan kebebasan untuk mencipta.
DAFTAR PUTAKA
S.
Willis, Sofyan, 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta
McLeod,
John. 2008. Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana
Mappire
AT, Andi. 1992. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT Raja
Grafindo
Id.wikipedia.org./wiki/Konselor_pendidikan
[1]
Id.wikipedia.org/wiki/Konselor
[2] Andi
Mappire AT, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, PT Raja Grafindo,
Jakarta, 1992, hlm. 102
[3] Sheldon
Eisenberg dan Daniel J. Delaney, The Counseling Process (Chicago: Rand
Mc. Nally Publishing Company, 1977), hlm. 5-10
[4] Art. W.
Comb, dkk., “Helping Relationships,” Boston :Allyn and Bacon, Inc., 1971.
Seperti dikutip oleh John J. Pietrofesa, dkk., op.cit., hlm 38-39
[5] Allen E.
Ivey, op.cit., hlm. 13
[6] Andi
Mappire AT, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, PT Raja Grafindo,
Jakarta, 1992, hlm. 125
[7] John
McLeod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, Kencana, Jakarta,
2008, hlm. 535
[8] Prof.
Dr. Sofyan S. Willis, Konseling Individual Teori dan Praktek. Alfabeta,
Bandung, 2004, hlm. 134
Tidak ada komentar:
Posting Komentar