BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Ketika mendengar istilah filsafat maka yang
terbayangkan dalam benak pikiran adalah ibarat “monster” yang seram dimana kita
akan kesulitan dalam mengerti, memahami, filsafat itu sendiri. Jika kita mau
melihat sebenarnya filsafat merupakan lahir dari kehidupan sehari-hari dan kita
melaluinya. Permasalahan yang berada dalam filsafat menyangkut pertanyaan,
pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan yang logis antara ide-ide
yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan empiris.
Perkembangan zaman berlangsung begitu cepat.
Masyarakat berjalan secara dinamis mengiringi perkembangan zaman tersebut.
Seiring dengan hal itu, filsafat sebagai suatu kajian ilmu juga berkembang dan
melahirkan tiga dimensi utama sekaligus sebagai objek kajiannya. Ketiga dimensi
utama filsafat ilmu ini adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Maka dari itu, kami akan membahas tentang ontologi,
epistemologi dan aksiologi.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas yaitu :
1. Apa
pengertian filsafat dan filsafat ilmu?
2. Apa
saja yang dibahas di dalam ontologi?
3. Apa
yang dibicarakan dalam epistemologi?
4. Apa yang dipermasalahkan dalam aksiologi?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini
yaitu:
1. Untuk
mengetahui pengertian filsafat dan filsafat ilmu
2. Untuk
mengetahui yang dibahas di dalam ontologi
3. Untuk
mengetahui yang dibicarakan dalam epistemologi
4. Untuk mengetahui permasalahan dalam aksiologi
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Filsafat Ilmu
Filsafat
dalam bahasa Inggris, yaitu: philosophy,
adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani: philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia
(persahabatan, tertarik kepada) dan shopos
(hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan pengalaman praktis,
inteligensi).
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai
dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah. Filsafat ilmu adalah segenap
pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut
landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan integrative yang eksistensi
dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh
antara filsafat dan ilmu.
Filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan
filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan
keadaan. Pengetahuan lama menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru.
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di
bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang
terangkum dalam sejumlah literatur
kajian Filsafat Ilmu.[1]
· Robert
Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current
scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of
science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”.
(Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang
pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap
kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi
filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah
secara aktual).
· Lewis
White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of
scientific thinking and tries to determine the value and significance of
scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi
metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya
ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
· Cornelius
Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the
nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions,
and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang
pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya
metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya
dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
· Michael
V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the
relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”.
(Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan
hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
· May
Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically
neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis
yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai
landasan – landasan ilmu.
· Peter
Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do
for science what philosophy in general does for the whole of human experience.
Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories
about man and the universe, and offers them as grounds for belief and action;
on the other, it examines critically everything that may be offered as a ground
for belief or action, including its own theories, with a view to the
elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu
bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya
melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal :
di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan
menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain
pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai
suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri,
dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan
· Stephen
R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to
elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry
observational procedures, patens of argument, methods of representation and
calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the
grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical
methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu
mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses
penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbincangan,
metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis,
dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari
sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).
Dari paparan pendapat para pakar dapat
disimpulkan bahwa pengertian filsafat
ilmu itu mengandung konsepsi dasar yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) sikap
kritis dan evaluatif terhadap kriteria-kriteria ilmiah
2) sikap
sitematis berpangkal pada metode ilmiah
3) sikap
analisis obyektif, etis dan falsafi atas landasan ilmiah
4) sikap
konsisten dalam bangunan teori serta tindakan
ilmiah
Berdasarkan
pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab
pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis,
epistemologis maupun aksiologisnya.
B.
Ontologi
Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani: On = being, dan logos = logic. Jadi Ontologi adalah The
theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).[2] Louis
O. Kattsoff dalam Elements of Filosophy mengatakan,
Ontologi itu mencari ultimate reality
dan menceritakan bahwa di antara contoh pemikiran ontologi adalah pemikiran
Thales, yang berpendapat bahwa airlah yang menjadi ultimate subtance yang mengeluarkan semua benda. Jadi asal semua
benda hanya satu saja yaitu air.[3]
Menurut A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, Filsafat
dan Logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang
nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari
kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal,
abstraksi) dapat dikatakan ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap
sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal
pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang
ada.[4]
Sementara itu, Sidi Gazalba dalam bukunya Sistematika
Filsafat mengatakan, Ontologi mempersoalkan sifat dan keadaan terakhir dari
kenyataan. Karena itu ia disebut ilmu hakikat, hakikat yang bergantung pada
pengetahuan Dalam agama ontologi memikirkan tentang Tuhan.[5]
Dari beberapa pengetahuan di atas dapat disimpulkan
bahwa:
a. Menurut
bahasa, ontologi ialah berasal dari bahasa Yunani yaitu, On/Ontos = ada dan Logos
= ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
b. Menurut
istilah, ontologi ialah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan ultimate reality baik yang
berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.
Ontologi filsafat membicarakan hakikat filsafat,
yaitu apa pengetahuan filsafat itu sebenarnya. Pembicaraan tentang hakikat
sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Hakikat
adalah realitas; realita adalah ke-real-an, Riil artinya kenyataan yang
sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan
sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan
pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari
seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Istilah monisme
oleh Thomas Davidson disebut dengan Block
Universe.[6]
Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
a. Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu
adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme.
Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.[7]
Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu
kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa atau ruh itu hanyalah merupakan akibat
saja dari proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu.
b. Idealisme
Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu
yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang
beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu
sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah
suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani.[8]
2. Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua
macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani,
benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan
muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing
bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya
menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya
kerja sama kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia.[9]
3. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk
merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa
segenap macam bentuk itu semuanya nyata.[10]
4. Nihilisme
Nihilisme berasal dari Bahasa Latin yang berarti
nothing atau tidak ada.Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif
yang positif.
5. Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk
mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata
Agnosticisme berasal dari bahasa Grik Agnostos
yang berarti unknown. A artinya no, Gno artinya know.[11]
C.
Epistemologi
Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang
filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[12]
Epistemologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu
objek filsafat (yaitu yang dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat
dan ukuran kebenaran (pengetahuan) filsafat.
1. Objek
Filsafat
Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang
sebenarnya, yang terdalam. Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh objek apa
yang diteliti (dipikirkan)-nya. Filsafat meneliti objek yang ada tetapi
abstrak, adapun yang mungkin ada, sudah jelas abstrak, itu pun jika ada.
2. Cara
Memperoleh Pengetahuan Filsafat
Pertama-tama filosof harus membicarakan
(mempertanggungjawabkan) cara mereka memperoleh pengetahuan filsafat. Sebelum
mencari pengetahuan mereka membicarakan lebih dahulu (dan
mempertanggungjawabkan) cara memperoleh pengetahuan tersebut. Manusia
memperoleh pengetahuan dengan cara berfikir secara mendalam.
3. Ukuran
Kebenaran Pengetahuan Filsafat
Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis
tidak empiris. Pernyataan ini menjelasakan bahwa ukuran kebenaran filsafat
ialah logis tidaknya pengetahuan itu. Bila logis benar, bila tidak logis,
salah.
Kebenaran teori filsafat di tentukan oleh logis
tidaknya teori itu. Ukuran logis tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen
yang menghasilkan kesimpulan (teori) itu.
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui
akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori
pengetahuan, diantaranya adalah:
1. Metode
Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan
pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang
lebih umum.[13]
2. Metode
Deduktif
Deduksi adalah suatu metode yang menyimpulkan bahwa
data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang
runtut.[14]
3. Metode
Positivisme
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui,
yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/ persoalan diluar
yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika.
4. Metode
Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan
akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun
akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut
dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh
dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
5. Metode
Dialektis
Dalam
filsafat, dialekta mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai
kejernihan filsafat.[15]
Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melakukan
perdebatan.
Metode-metode yang biasa digunakan untuk memperoleh
pengetahuan terkristalisasi dalam beberapa aliran antara lain sebagai berikut:
1. Aliran
Empirisme
Aliran ini dipelopori John Locke, menyatakan bahwa
ilmu pengetahuan diperoleh melalui pengalaman langsung dengan cara
mengobservasi obyek. Kalau kita ingin mengetahui tentang warna-warna, maka tak
ada jalan lain kecuali harus dengan melihatnya dengan mata kepala.
2. Aliran
Rasionalisme
Aliran ini dipelopori oleh Spinoza dan Descartes
memberikan penjelasan bahwa ilmu pengetahuan dapat diketahui melalui cara-cara
berfikir deduktif.
3. Aliran
Fenomenalisme
Aliran ini dipelopori oleh Kant, yang berusaha
mengidentifikasi aliran Empirisme dan Rasionalisme dan kemudian menyatakan
bahwa ilmu pengetahuan bisa diperoleh dengan kedua cara itu, dengan
memperhatikan jenis pengetahuan yang ada.
4. Aliran
Intuisionisme
Aliran ini diperoleh oleh Bergson, menyatakan bahwa
pengetahuan bisa diperoleh melalui intuisi dengan jalan kontemplasi. Sifat dari
pengetahuan intuisi ini lebih halus, diperoleh secara cepat dan langsung tanpa
media. Kelemahan dari metode ini adalah tidak dapat ditransformasikan maaupun
diuji validitasnya.
D.
Aksiologi
Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi
adalah “teori tentang nilai”.[16]
Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam
bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[17]
Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh
perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and
wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and).
Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian.
Pertama, moral conduct, yaitu
tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic exppression, yaitu ekspresi
keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life,
yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.[18]
Dalam
Encyclopedia of Philosophy
dijelaskan, aksiologi disamakan dengan Value
and Valuation. Ada tiga bentuk Value
and Valuation. Yaitu:
1. Nilai
digunakan sebagai kata benda abstrak
2. Nilai
sebagai kata benda konkret
3. Nilai
juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi menilai, dan
dinilai.[19]
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas,
terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai.
Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam
filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Makna
“etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama,
etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan
manusia. Seperti ungkapan “saya pernah belajar etika”. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang
dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia
yang lain. Seperti ungkapan “ia bersifat etis atau ia seorang yang jujur atau
pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila”.
Terdapat dua kategori dasar aksiologi :
1. Objectivism,
yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek
yang dinilai.
2. Subjectivism,
yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur
intuisi (perasaan)
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan
oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi, maupun teori-teori emansipasi
masyarakat dan sebagainya itu, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan,
nilai agama, nilai adat dan sebagainya.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu
merupakan suatu bidang pengetahuan integrative yang eksistensi dan pemekarannya
bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan
ilmu.
Bidang filsafat ilmu yaitu ontologi, epistemologi
dan Aksiologi. Ontologi yaitu bidang/cabang yang menyelidiki hakikat dan
realita yang ada. Ontologi filsafat membicarakan hakikat filsafat, yaitu apa
pengetahuan filsafat itu sebenarnya Epistemologi yaitu cabang filsafat yang
membahas sumber, batas proses hakekat dan validitas pengetahuan, Epistemologi
meliputi berbagai sarana dan tata cara penggunaan. Epistemologi filsafat
membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu yang dipikirkan), cara
memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran (pengetahuan) filsafat.
Aksiologi yaitu yang menyelidiki nilai, aksiologi meliputi nilai normatif.
DAFTAR
PUSTAKA
Salam,
Drs. H. Burhanuddin. 2008. Pengantar
Filsafat. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Tafsir,
Prof. Dr. Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Bakhtiar,
M. A, Dr. Amsal. 2004. Filsafat Ilmu.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
[1] Lokisno CW, Pengantar Filsafat, Bahan Presentasi kuliah filsafat ilmu di Fakultas
Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya,
[2] Lih.
James K. Feibleman, Ontologi dalam
Dagobert D. Runes (ed), Dictinary
Philoshopy, (Thowa New Jersey : Little Adam & Co., 1976), hlm. 219.
[3] Louis O
Katsoff, Element of Philosophy, (New York : The Roland Press Company, 1953),
hlm. 178.
[4] A.
Dardiri, Humaniora, Filsafat, dan Logika, (Jakarta : Rajawali, ed. I, cet. I,
1986), hlm. 17.
[5] Sidi
Gazalba, Sistematika Filsafat, Pengantar
kepada Teori Pengetahuan, Buku II, (Jakarta : Bulan Bintang, cet. I, 1973),
hlm. 106.
[6] Ibid,
hlm. 363.
[7] Sunarto,
Pemikiran Tentang Kefilsafatan Indonesia,
(Yogyakarta : Andi Offset, 1983), hlm. 70.
[8]
Hasbullah Bakry, op.cit., hlm. 56. Lih. Juga Sunoto, op.cit., hlm. 70.
[9] Ibid,
hlm. 51, Lih juga A. Tafsir, op.cit., hlm. 30.
[10]
Sunarto, op.cit., hlm. 71.
[11] A.
Tafsir, op.cit. hlm. 30.
[12]
Keterangan lebih mendalam lihat Muzairi, Eksistensialisme
Jean Paul Sartre, Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, Cet. I, 2002), hlm. 131.
[13] Tim
Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:
Liberty, 1996), hlm. 109.
[14] Ibid
[15] Sidi
Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1991), hlm. 125.
[16] Burhanuddin
Salam, Logika Materil ; Filsafat Ilmu
Pengetahuan, (Jakarta : Reneka Cipta, 1997), cet. ke-1, hlm. 168.
[17] Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat, hlm.234.
[18]
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat
Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), cet. ke-1. hlm. 106.
[19] Paul
Edwards, (ed), The Encyclopedia of
Philosophy, (New York: Collier Macmillan Publishers, 1967), Volume 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar