Kamis, 12 April 2012

Khulafaurrasyidin


BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW status sebagai Rasulullah tidak dapat diganti oleh siapapun (khatami al-anbiya’ wa al-mursalin), tetapi kedudukan beliau yang kedua sebagai pimpinan kaum muslimin mesti segera ada gantinya. Orang itulah yang dinamakan “khalifah” artinya menggantikan Nabi menjadi kepala kaum muslimin (pimpinan komunitas Islam) dalam memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan melestarikan hukum-hukum agama Islam. Dialah yang menegakkan keadilan yang selalu berdiri diatas kebenaran.
Maka yang menggantikan Nabi disebut Khulafaur Rasyidin. Maka dari itu kami akan membahas orang-orang yang termasuk di dalam Khulafaur Rasyidin.

B.          Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang kami akan bahas, maka rumusan masalah yang kami temukan yaitu:
1.    Bagaimana perkembangan Islam pada masa Abu Bakar Siddiq?
2.    Bagaimana perkembangan Islam pada masa Umar bin Khattab?
3.    Bagaimana perkembangan Islam pada masa Utsman bin ‘Affan?
4.    Bagaimana perkembangan Islam pada masa Ali bin Abi Thalib?

C.          Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.    Untuk mengetahui perkembangan Islam pada masa Abu Bakar Siddiq
2.    Untuk mengetahui  perkembangan Islam pada masa Umar bin Khattab
3.    Untuk mengetahui perkembangan Islam pada masa Utsman bin ‘Affan
4.    Untuk mengetahui  perkembangan Islam pada masa Ali bin Abi Thalib



BAB II
PEMBAHASAN

Khulafaurrasyidin berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari kata khulafa dan arrasyidin. Khulafa menunjukkan banyak, artinya banyak khalifah. Jika satu saja disebut Khalifah, artinya pemimpin (sesudah Nabi wafat). Arrasyidin artinya arif bijaksana.
Jadi Khulafaurrasyidin, artinya pemimpin yang bijaksana sesudah Nabi wafat. Yaitu sebagai kepala negara dan Pemimpin Umat Islam setelah Rasulullah SAW wafat.
Khulafaur ar-Rasyidin ada 4 orang, yaitu:
A.  Abu Bakar Siddik
B.  Umar Ibn Khattab
C.  Utsman Ibn Affan
D.  Ali Ibn Abi Thalib
Jadi, hanya mereka berempatlah yang disebut Khulafaur ar-Rasyidin karena merekalah yang secara berurutan mengganti posisi Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat.[1]

A.          Abu Bakar Al-Siddiq (11-13 H/632-634M)
1.    Asal Usul Abu Bakar
Abu Bakar Siddiq adalah keturunan bangsa Quraisy. Nama lengkapnya yaitu Abdullah Abi Quhafah At-Tamimi.[2] Ia dilahirkan di Mekkah dua tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW, yaitu pada tahun 573 M. Di masa Jahiliyah ia dikenal dengan sebutan ‘Abdul Ka’ab atau ‘Abdul ‘Uza. Jadi, Abu Bakar Siddiq adalah sebuah nama julukan. Kata-kata “Abu Bakar” berarti orang yang paling pagi atau paling dini, maksudnya, dialah orang yang paling pertama dan paling dini mempercayai kerasulan Muhammad SAW. Sedangkan kata-kata “Al-Siddiq” berarti orang yang paling percaya. Julukan ini diberikan kepada Abu Bakar karena ia orang yang paling pertama mempercayai peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.
Jadi, nama Abu Bakar yang sering kita sebut bukan merupakan nama asli dari seorang sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, tapi nama julukannya. [3]

2.    Sifat-Sifat Abu Bakar[4]
Abu Bakar Siddiq memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a.    Hatinya kuat mendukung Islam
b.    Jujur dan amanah
c.    Kemauan dan pendiriannya kuat
d.   Berani bertindak
e.    Pemaaf
f.     Dermawan
g.    Percaya pada diri sendiri

3.    Peran Abu Bakar Siddiq pada masa Hayat Rasulullah[5]
Setelah memeluk Islam, Abu Bakar menumpahkan seluruh perhatiannya untuk mengabdi dan menyiarkan Islam. Ia berhasil menarik pembesar-pembesar Quraisy untuk mengikuti jejaknya memeluk Islam. Di antara mereka yang berhasil ditariknya masuk Islam adalah Utsman Ibn ‘Affan, Abd al-Rahman Ibn ‘Auf, dan Zubeir Ibn ‘Awwam. Disamping itu, banyak sekali perjuangannya untuk Islam pada masa-masa awal kebangkitan Islam di saat Rasulullah masih hidup. Terutama sekali, dengan kekayaannya, Abu Bakar sering membeli budak yang disiksa oleh orang quraisy dan kemudian dimerdekakannya. Pada perkembangan selanjutnya budak-budak itu menjadi pejuang Islam yang gigih dalam membela Islam, seperti Bilal.
Kemudian persahabatan Nabi dengan Abu Bakar menjadi lebih erat lagi ketika Aisyah, anak Abu Bakar, dikawinkan dengan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, Abu Bakar kerap tampil sebagai pembela Nabi Muhammad SAW apabila ia melihat Rasulullah disakiti orang-orang Quraisy.
Peran terbesar Abu Bakar di masa hayat Rasulullah SAW adalah ketika ia menemani Rasulullah SAW dalam perjalanan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Mereka berdua dikejar-kejar orang-orang Quraisy untuk dihalang-halangi hijrah dan juga akan dibunuh.

4.    Sistem politik Islam Masa Khalifah Abu Bakar[6]
Kebijaksanaan politik yang dilakukan Abu Bakar dalam mengemban kekhalifahannya yaitu:
a.    Mengirim pasukan dibawah pimpinan Usamah bin Zaid, untuk memerangi kaum Romawi sebagai realisasi dari rencana Rasulullah, ketika beliau masih hidup. Sebenarnya dikalangan sahabat termasuk Umar bin Khatab banyak yang tidak setuju dengan kebijaksanaan khalifah ini.
b.    Timbulnya kemunafikan dan kemurtadan. Kepribadian Nabi Muhammad yang dinamis menyebabkan seluruh bangsa Arab bersatu. Disamping itu, banyak suku Arab yang menganggap bahwa persetujuan mereka dengan Nabi sebagai persetujuan pribadi yang berakhir dengan wafatnya Nabi. Adapun orang yang murtad pada waktu itu yaitu:
a).  Mereka yang mengaku Nabi dan pengikutnya, termasuk didalamnya orang yang meninggalkan sholat, zakat dan kembali melakukan kebiasaan jahiliyah.
b). Mereka membedakan antara sholat dan zakat, tidak mau mengakui kewajiban zakat dan mengeluarkannya.
Dalam menghadapi kemunafikan dan kemurtadan ini, Abu Bakar tetap pada prinsipnya yaitu memerangi mereka sampai tuntas.
c.    Mengembangkan wilayah Islam keluar Arab. Ini ditujukan ke Syiria dan Persia. Untuk perluasan Islam ke Syiria yang dikuasai Romawi (Kaisar Heraklius), Abu Bakar menugaskan 4 panglima perang yaitu Yazid bin Abu Sufyan ditempatkan di Damaskus, Abu Ubaidah di Homs, Amru bin Ash di Palestina dan Surahbil bin Hasanah di Yordan.
Usaha tersebut diperkuat oleh kedatangan Khalid bin Walid dan pasukannya serta Mutsannah bin Haritsah, yang sebelumnya Khalid telah berhasil mengadakan perluasan ke beberapa daerah Irak dan Persia. Dalam peperangan melawan Persia disebut “pertempuran berantai”. Hal ini karena perlawanan dari Persia yang beruntun dan membawa banyak korban.
Adapun kebijakan di bidang pemerintahan yang dilakukan oleh Abu Bakar:[7]
a.    Pemerintahan berdasarkan musyawarah
Apabila terjadi suatu perkara, Abu Bakar selalu mencari hukumnya dalam kitab Allah. Jika beliau tidak memperolehnya maka beliau mempelajari bagaimana Rasul bertindak dalam suatu perkara. Dan jika tidak ditemukannya apa yang dicari, beliaupun mengumpulkan tokoh-tokoh yang terbaik dan mengajak mereka bermusyawarah. Apapun yang diputuskan mereka setelah pembahasan, diskusi dan penelitian, beliaupun menjadikannya sebagai suatu keputusan dan suatu peraturan.
b.    Amanat Baitul Mal
Para sahabat Nabi beranggapan bahwa Baitul Mal adalah amanat Allah dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu mereka tidak mengizinkan pemasukan sesuatu kedalamnya dan pengeluaran sesuatu darinya yang berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari’at. Mereka mengharamkan tindakan penguasa yang menggunakan Baitul Mal untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi.
c.    Konsep Pemerintahan
Politik dalam pemerintahan Abu Bakar telah Beliau jelaskan sendiri kepada rakyat banyak dalam sebuah pidatonya.
d.   Kekuasaan Undang-undang
Abu Bakar tidak pernah menempatkan diri beliau diatas undang-undang. Beliau juga tidak pernah memberi sanak kerabatnya suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari undang-undang. Dan mereka itu dihadapan undang-undang adalah sama seperti rakyat yang lain, baik kaum muslim maupun non muslim.
5.    Khalifah Abu Bakar Shiddiq wafat[8]
Khalifah Abu Bakar memerintah dengan bijaksana selama 2 tahun 3 bulan 10 hari dan beliau wafat pada tahun 13 Hijriah = 634 Masehi. Pada saat berkecamuknya peperangan di Yarmuk itulah Abu Bakar wafat dalam usia 63 tahun.
Abu Bakar Shiddiq dimakamkan pada hari Selasa tanggal 23 Jumadil Akhir 13 Hijriah, dekat makam Rasulullah.

B.          Umar Bin Al-Khattab (13-23 H/624-644)
1.    Asal Usul Umar bin Al-Khattab[9]
Nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdil Uzza bin Ribaah bin Abdullah bin Qarth bin Razaah bin Adiy bin Kaab. Ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah bin Abdillah bin Umar bin Mahzum. Ia berasal dari suku Adiy, suatu suku dalam bangsa Quraisy yang terpandang mulia, megah dan berkedudukan tinggi. Dia dilahirkan 14 tahun setelah kelahiran Nabi. Pada masa mudanya, sebelum masuk Islam, Umar terkenal sebagai orang yang memiliki kemampuan dan kelebihan dikalangan kaum Quraisy dalam bidang seni dan diplomasi.
2.    Sifat-sifat Umar bin Khattab[10]
Umar bin Khattab memiliki sifat yaitu:
a.    Memiliki wibawa yang besar
b.    Hidupnya sangat sederhana
c.    Berjiwa kerakyatan (demokrasi)
d.   Suka menolong sesama
e.    Menghargai sesama orang lain
f.     Jujur dalam segala hal
g.    Adil dalam segala hal
h.    Pemberani terhadap kebenaran
i.      Tidak takabur
j.      Bijaksana
3.    Umar Diangkat Menjadi Khalifah[11]
Di saat Abu Bakar mendekati ajalnya, kaum muslimin sedang menghadapi peperangan dengan kerajaan Persia dan Romawi. Pasukan Islam di Irak terpaksa mengundurkan diri di perbatasan karena tidak kuat menghadapi musuh yang jumlahnya berlipat ganda. Sedangkan pasukan Islam di Syam sedang bertempur mati-matian melawan bala tentara Rum di lembah Yarmuk. Pertempuran itu belum bisa diketahui siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Pasukan Islam yang sedang dalam medan pertempuran itu sangat memerlukan bantuan, baik jumlah pasukan maupun jumlah persediaan lainnya.
Pada saat itu Abu Bakar berpikir, kalau dia tidak menetapkan siapa yang akan menggantikan Khalifah sesudahnya maka akan timbul bahaya yang besar, sebagaimana yang terjadi ketika Rasulullah wafat.
Dengan dasar pertimbangan itu dan mengingat pula kepahlawanan Umar, maka Abu Bakar mengajukan calon Umar bin Khattab. Akhirnya pencalonan Umar bin Khattab ini disetujui oleh kaum muslimin.
Setelah wafatnya Abu Bakar maka khalifah diberikan kepada Umar bin Khattab sesuai wasiat Abu Bakar.

4.    Penaklukan Syiria[12]
Pengepungan Damaskus, salah satu pusat Siria yang paling penting, sudah dimulai sejak zaman Abu Bakar, tetapi kota itu dapat direbut dalam masa pemerintahan Umar. Setelah penaklukan Damaskus, umat Islam mengalihkan perhatiannya ke arah Yordania, tempat bangsa Romawi mulai menghimpun kekuatan yang dikirim oleh Heraclius untuk membebaskan Damaskus.
Setelah jatuhnya Damaskus dan Yordania, tinggal tiga kota penting lainnya akan ditaklukkan, yang berarti penaklukan Siria. Ketiga kota ini ialah Yerusalem, Hims (Amasi) dan Antiokia.

5.    Pemberhentian Khalid bin Walid[13]
Pada tahap inilah Khalifah Umar bin Khattab mengangkat Abu Ubaidah sebagai panglima tertinggi dan memberhentikan Khalid bin Walid. Penurunan Khalid merupakan peristiwa yang penting dalam perjalanan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan penaklukan Siria. Perbuatan tertentu Khalid yang berlebihan telah mengecewakan Umar.

6.    Penyerangan Yerusalem[14]
Setelah perang Yarmuk, Abu Ubaidah, panglima tertinggi yang baru, bersama wakilnya, Khalid, berangkat dan menyerang Yerusalem, kota suci orang Kristen. Abu Ubaidah memimpin serangan pada satu sisi, dan Khalid menyerang dari sisi yang lain. Khalid memperoleh kemenangan. Sementara itu, pendeta tinggi Kristen menyerah kepada Abu Ubaidah.
Tujuan Umar ke Yerusalem tidak hanya untuk menerima penyerahan Kota Suci itu, tetapi juga untuk mendirikan seluruh pemerintahan negeri itu atas dasar yang kuat, untuk memperbaiki perjanjian-perjanjian dan untuk mengatur pajak-pajak.

7.    Kemajuan-kemajuan pada Masa Khalifah Umar bin Khattab di Bidang Kemasyarakatan dan Kenegaraan[15]
a.    Perubahan-perubhan pada masa Umar bin Khattab
Persoalan-persoalan dan kesulitan-kesulitan datangnya di masa Khalifah Umar bin Khattab. Maka diatas pundaknyalah terletak beban untuk mengatasi dan memecahkannya. Tuhan telah memberikan ilham dan taufik kepada Umar dalam memperkenankan panggilan zaman, menjawab tantangan hidup baru, dan membangun negara Islam.
Beliau yang menyusun dewan-dewan, mendirikan Baitul Mal, menempa mata uang, membentuk tentara untuk menjaga dan melindungi tapal batas, mengatur gaji, mengangkat hakim-hakim, mengatur perjalanan pos, menciptakan tahun Hijriah, pengontrolan terhadap timbangan dan takaran.
Umar bukan hanya saja menciptakan peraturan-peraturan baru, beliau juga memperbaiki, juga mengadakan perubahan-perubahan terhadap perturan-peraturan yang telah ada, bila kelihatan bahwa peraturan itu perlu diperbaiki dan dirubahnya.
b.    Persia, Mesir dan Syria dibawah Lindungan Islam[16]
Bangsa Persia, Mesir dan Syria telah menemukan dalam Islam kelonggaran toleransi. Disebabkan kelonggaran dan toleransi yang terdapat dalam Islam itu bebaslah mereka dari kesewenang-wenangan, tindasan dan paksaan yang telah mereka derita beratus-ratus tahun lamanya.
Kaum muslimin banyak mengadakan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan berkenaan dengan peradilan, kepolisian, jalan-jalan, pengairan, jembatan-jembatan dan lain sebagainya.
c.    Susunan Pemerintahan pada Masa Umar[17]
Pada  masa Nabi dan Abu Bakar, Islam masih terbatas di jazirah Arab. Berlainan halnya pada masa Umar, selain jazirah Arab, negeri-negeri Mesir, Syam, Irak dan sebagian besar negeri Persia telah menjadi wilayah Islam.
Daerah-daerah yang luas itu kemudian dibagi beberapa wilayah atau propinsi, yang diperintah oleh seorang wali. Dalam menjalankan pemerintahan di wilayah-wilayah itu. Para Gubernur dibantu oleh pegawai-pegaewai yang khusus mengurusi satu bidang misalnya, urusan pajak, urusan tentara, polisi, dan sebagainya.
Umar tidak saja membuat peraturan-peraturan baru tetapi juga memperbaiki dan menyempurnakan peraturan lama. Dengan demikian segala kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam pemerintahannya yang meliputi wilayah yang amat luas itu diawasi dengan sebaik-baiknya.
d.   Urusan Kehakiman pada Masa Umar[18]
Pada masa Abu Bakar, urusan kehakiman masih belum berdiri sendiri, akan tetapi bercampur menjadi satu dalam urusan pemerintahan pada umumnya, yang berada dibawah Khalifah. Sedangkan yang berada disetiap wilayah para gubernur langsung pula bertindak sebagai hakim.
Pada masa Umar urusan kehakiman berdiri sendiri dan dipisahkan dari urusan pemerintahan pada umumnya. Hal itu di sebabkan karena urusan pemerintahan menjadi banyak sekali mengingat luasnya wilayah Islam pada masa itu.
Maka Umar adalah Khalifah yang pertama untuk mengatur kehakiman. Dialah yang mengangkat para hakim. Akan tetapi kadang-kadang hal itu diserahkan kepada gubernur setempat untuk mengangkatnya.

8.    Khalifah Umar bin Khattab Wafat[19]
Umar bin Khattab wafat dibunuh oleh salah seorang budak bangsa Persia bernama Abu Lu’luah. Peristiwa ini terjadi ketika khalifah sedang shalat Shubuh. Abu Lu’luah menikam beliau beserta beberapa orang lainnya, sesudah itu Abu Lu’luah menikam dirinya.
Khalifah Umar bin Khattab wafat tahun 23 Hijriah = 644 Masehi dalam usia 63 tahun setelah menjadi Khalifah selama 10 tahun 6 bulan 4 hari. Atas persetujuan Siti Aisyah (isteri Rasulullah) jenazah beliau dimakamkan berjajar dengan makam Rasulullah dan makam Abu Bakar.

C.           Utsman Ibn ‘Affan (23-35 H = 644-656 M)
1.    Asal Usul Ustman bin Affan[20]
Usman bin Affan adalah keturunan bangsa Quraisy. Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai Abu Abdullah. Dia dilahirkan di Thaif lima tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada tahun 573 M di dalam marga Umayah dari keluarga besar Quraisy. Dia tumbuh dan berkembang dalam kehidupan yang mewah karena ayahnya adalah seorang saudagar yang kaya raya.

2.    Sifat-sifat Usman Bin Affan[21]
Usman bin Affan memiliki sifat:
a.    Seorang ahli hikmah (filosuf)
b.    Berperasaan halus
c.    Dermawan
d.   Seorang yang jujur

3.    Utsman Ibn ‘Affan diangkat menjadi khalifah[22]
Ketika Umar akan wafat, beliau menunjuk enam orang sahabat penggantinya. Diantara keenam sahabat kenamaan itu ialah Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair Ibnu Awam, Sa’ad bin Abi Waqqas dan Abdur Rahman bin Auf.
Sepeninggal Umar, keenam sahabat itu segera mengadakan musyawarah. Dalam pertemuan pertama Abdur Rahman minta izin agar diperkenankan mengundurkan diri dari pencalonan. Ternyata kemudian umat Islam menghendaki Utsman dan Ali, dua orang sahabat dan menantu Rasulullah.
Akan tetapi, Utsaman lebih tua dari Ali, maka Abdur Rahman kemudian memilih Utsman dan pilihan itu disetujui oleh semua calon. Dan akhirnya disetujui oleh umat manusia.

4.    Perkembangan dan Perluasan Daerah Islam[23]
a.    Penumpasan Murtadin
Perluasan daerah Islam pada masa Khalifah Utsman dapat menjadi dua. Pertama menumpas murtadin. Kedua, melanjutkan perluasan wilayah yang hampir meliputi semua wilayah yang lama.
Adapun para murtadin yang membahayakan ialah di daerah Khurosan di sebelah timur dan di Mesir sebelah barat. Mereka digerakkan penguasa-penguasa yang ingin merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai Islam.
Untuk menundukkan para murtadin itu, Khalifah Utsman mengirimkan pasukan yang besar jumlahnya, dengan perlengkapan yang cukup. Sehingga dengan mudah mereka dapat ditundukkan.
b.    Perluasan Daerah
Perluasan daerah dapat dikatakan meliputi semua wilayah yang telah ditaklukan oleh Khalifah Umar. Diantaranya yang terpenting adalah:
a)    Di sebelah Timur, penaklukan negeri Persia dapat disempurnakan pada masa pemerintahan Utsman
b)   Disebelah Utara, Armenia dan beberapa daerah disekitar Tibrista dapat ditaklukkan di bawah pimpinan Walid bin Ukbah
c)    Disebelah Barat, Barqoh dan Tripoli di Afrika Utara dapat ditaklukkan di bawah pimpinan Sa’ad bin Sarah
d)   Untuk pertama kalinya armada Islam dapat menundukkan pulau Cyprus dan berhasil memukul mundur armada Romawi yang berusaha keras ingin merebut Iskandariyah dari tangan kaum muslimin.
e)    Di sebelah selatan kaum muslimin dapat menaklukkan Sudan.
c.    Al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan[24]
Pada masa Utsman, kelonggaran yang diberikan Rasulullah dalam dialek membaca Al-Qur’an telah menimbulkan gejala-gejala negatif, yaitu berselisihnya kaum muslimin dalam hal bacaan/dialek yang ada pada mereka.
Kalau yang demikian ini dibiarkan berlarut-larut, niscaya akan berakibat mendatangkan perpecahan di kalangan kaum muslimin, hal itu tidak diinginkan sama sekali. Kemudian beliau menugaskan empat orang sahabat menyalin kembali dari apa yang ada pada Hafsah bin Umar. Demikianlah pembukuan Al-Qur’an seutuhnya selesai pada masa pemerintahan Utsman bin Affan yang menjadikan ia terpuji dan memperoleh sebutan yang Mulia dan Agung.

5.    Kemajuan-kemajuan di Bidang Kemasyarakatan dan Kenegaraan[25]
a.    Pembangunan Zaman Utsman
Kalau pembangunan masjid Madinah pada zaman Khalifah Umar bin Khattab baru tertuju ke arah kegunaannya, tetapi setelah zaman Khalifah Utsman bin Affan, pembangunan masjid Madinah bukan saja mencukupi kegunaannya, melainkan ditingkatkan ke arah keindahan. Pembangunan seni masjid Madinah pada zaman Khalifah Utsman itu mempunyai arti penting bagi pembangunan masjid-masjid selanjutnya.
b.    Angkatan Laut
Sebelum pemerintahan Khalifah Utsman, negara Islam hanya memiliki angkatan darat, untuk menghadapi tentara Byzantium di daerah laut Tengah, Khalifah Utsman memerintahkan kepada Muawiyah agar membentuk angkatan laut. Selain terbentuk lalu dicoba menghadapi armada Byzantium dipimpin oleh Muslim. Kemenangan di pihak Islam.
6.     Akhir Riwayat Utsman[26]
Pada suatu malam Khalifah Usman bin Affan sedang membaca Al-Qur’an di rumahnya. Tiba-tiba datang beberapa orang yang tidak senang kepada Usman bin Affan. Di antara mereka yang datang itu ada yang bernama Thamran bin Sudan yang terus menyerang Khalifah dan membunuhnya. Beliau wafat seketika dengan memegang Al-Qur’an. Wafatnya Khalifah Utsman itu karena adanya fitnah sepucuk surat. Khalifah Utsman bin Affan mati terbunuh pada tahun 35 H = 656 M, dalam usia setelah 82 tahun setelah memerintah selama 12 tahun.

D.          Ali Bin Abi Thalib (35-40 H = 656-661 M)
1.    Asal Usul Ali Bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib adalah keturunan bangsa Quraisy. Beliau adalah adik satu kakek dan menantu Nabi Muhammad SAW. Ayah beliau bernama Abu Thalib, beliau juga adalah paman Rasul Allah.
Waktu pengangkatan Nabi menjadi Rasul, Ali bin Abi Thalib masih kecil. Selisih umur Ali bin Abi Thalib dengan Rasul Allah sekitar 32 tahun. [27]
Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah saudara sepupu Nabi SAW (anak paman Nabi, Abu Thalib), yang menjadi menantu Nabi SAW, suami dari puteri Rasulullah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah satu-satunya putri Rasulullah yang ada serta mempunyai keturunan. Dari pihak Fathimah inilah Rasulullah mempunyai keturunan sampai sekarang.[28]

2.    Sifat-sifat Ali bin Abi Thalib[29]
Ali bin Abi Thalib memiliki sifat:
a.    Gagah berani dan tak kenal menyerah
b.    Ahli memanah dan memainkan pedang sekalipun tangannya tidak lurus
c.    Tangkas, perwira dan berwatak satria
d.   Jujur, teliti, rendah hati dan hemat

3.    Terpilih menjadi Khalifah[30]
Setelah khalifah Utsman bin ‘Affan wafat,  jabatan Khalifah menjadi kosong. Keadaan saat itu dikuasai orang-orang yang anti Utsman bin ‘Affan. Seluruh Gubernur di daerah negara Islam yang diangkat Utsman dipecat oleh mereka yang anti Utsman itu.
Kemudian mereka mengadakan pemilihan Khalifah. Dan ternyata yang dipilih menjadi khalifah adalah Ali bin Abu Thalib. Pada mulanya Ali enggan menerimanya. Tetapi karena adanya desakan-desakan dari kaum muslimin, beliau akhirnya menurutinya. Untuk menyelamatkan negara dan agama Islam.

4.    Kebijaksanaan Politik Ali bin Abi Thalib[31]
Setelah Ali di baiat menjadi khalifah, Ali mengeluarakan dua kebijaksanaan politik yang sangat radikal, yaitu:
a.    Memecat kepala daerah angkatan Ustman dan menggantikan dengan Gubernur baru.
b.    Mengambil kembali tanah yang dibagi-bagikan Ustman kepada famili-familinya dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah.

5.    Timbulnya Tiga Golongan[32]
Setelah Ali diangkat menjadi Khalifah keempat dan mengambil tindakan mengadakan pergantian para gubernur di daerah itu. Kemudian di masyarakat timbul tiga golongan yaitu:
a.    Golongan Ali, yaitu golongan yang menyetujui pengangkatan Ali sebagai Khalifah dan mengadakan pergantian para gubernur.
b.    Golongan Mu’awiyah, yaitu golongan yang tidak menyetujui pengangkatan Khalifah Ali, dan tidak setuju tindakan pergantian para gubernur, dan mereka itu menuntut bela pembunuhan Ustman.
c.    Golongan Aisyah, Zubair dan Thalhah, yaitu mereka yang tidak setuju dengan penuntutan bela pembunuhan Utsman, tetapi juga tidak setuju atas pengangkatan Ali sebagai Khalifah.
Ketiga golongan itu masing-masing mempunyai kekuatan pengaruh sendiri-sendiri yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan bahaya perang saudara.

6.    Waqiatul Jamal (Perang Berunta) 36 H = 657 M[33]
Disebut perang berunta sebab panglimanya mengendarai unta. Pemimpin perang tersebut ialah : Zubair, Thalhah, Siti Aisyah. Di antara ketiga orang itu, Siti Aisyah sebagai panglima perangnya. Ketiga pemimpin itu di Mekkah mengumpulkan pasukan dari Hijaz dan Yaman. Kemudian mereka menuju ke Basrah akan mengumpulkan pasukan untuk memerangi Khalifah Ali di Madinah.
Sebab-sebab Perang :
a.    Mereka tidak setuju atas pengangkatan Ali sebagai Khalifah
b.    Mereka tidak setuju atas tindakan Ali mengganti wali di beberapa daerah.
c.    Adanya Khalifah Ali tidak mau menuruti permintaan mereka untuk mendahulukan mengadakan tuntutan menghukum orang-orang yang tersangkut dalam pembunuhan Khalifah Utsman
Sebenarnya Khalifah Ali beserta 200.000 orang prajuritnya sudah siap akan berangkat ke Syam untuk memerangi Mu’awiyah. Tetapi mendengar berita adanya persiapan Siti Aisyah itu, Khalifah Ali membelokkan niatnya perlu menumpas pembangkangan itu dahulu.
Terjadi perang saudara seagama itu dengan saling bunuh membunuh yang tiada ampun, sehingga kedua belah pihak menelan korban 10.000 orang termasuk Zubair dan Thalhah. Sedangkan Aisyah dipulangkan ke Madinah serta dipesan oleh Ali agar jangna ikut-ikut dalam kegiatan politik, dan pertempuran itu ber akhir dengan kemenangan Ali.
7.    Perang Shiffin (37 H = 658 M)[34]
Shiffin termasuk daerah perbatasan antara Syiria dengan Irak. Terletak di sebelah barat sungai Efrat. Di tempat itulah dimulai perang saudara yang dahsyat antara kedua tokoh kenamaan yang disebut perang shiffin.
Sebab-sebab Umum :
a.    Mu’awiyah tidak menyetujui Ali diangkat menjadi Khalifah
b.    Mu’awiyah menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan Khalifah Utsman. Dan Mu’awiyah menuntut beliau
c.    Mu’awiyah dipecat dari jabatan wali oleh Ali

Sebab-sebab Khusus :
Pada waktu Khalifah Ali mengirimkan seorang utusan yang bernama Jarir untuk mengemukakan damai, Mu’awiyah tidak setuju, dengan menjawab “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM”! Perang.
Dengan demikian perang tidak dapat terelakkan lagi.
Pertempuran Meletus :
Setelah selesai perang berunta itu, Ali terus berangkat ke Kufah terus ke Shiffin, setelah sampai di Shiffin terjadilah pertempuran dengan dahsyatnya. Pertempuran berkecamuk hingga empat puluh hari lamanya.
Tentara Mu’awiyah mula-mula menang, tetapi kemudian kalah, akhirnya Mu’awiyah sudah hendak lari, tetapi tiba-tiba Amru mengambil siasat damai dengan memerintahkan seluruh tentaranya mengacungkan mushaf Al-Qur’an pada pucuk tombaknya serta menyeru “Marilah damai dengan kitab Allah”
Melihat Al-Qur’an pada pucuk tombak dan mendengar seruan tersebut di atas, sebagian pasukan Ali ingin damai. Dan sebagian pasukan berkemauan keras terus perang hingga mendapatkan kemenangan.
Khalifah Ali sendiri tidak yakin atas seruan mereka itu, maka beliau berseru “teruskan perang’!
Tetapi karena kesatuan pasukan Ali sudah pecah, maka Ali memperhentikan perang dengan hati yang kesal. Pasukan Ali mundur ke Kufah sedangkan tentara Mu’awiyah mundur ke Syam. Dengan cara perundingan itu, maka Mu’awiyah dapat terhindar dari kehancuran.
8.    Khalifah Ali bin Abi Thalib wafat[35]
Setelah golongan Khawarij berpendirian dan bahwa mulai saat itu tidak ada lagi pemimpin yang benar, maka kemudian mereka sepakat untuk membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib, Muawiyah dan Amru bin Ash.
Pembunuhan itu mereka rencanakan di bawah pimpinan 3 orang Khawarij, yaitu Abdurrahman bin Muljam, Al Birk ibnu Abdillah dan Amer bin Bakar. Masing-masing di antara mereka akan membunuh salah satu orang pemimpin tersebut di atas.
Yang berhasil melaksanakan niatnya untuk membunuh salah seorang pemimpin tersebut di atas hanyalah Abdurrahman bin Muljam, yaitu dengan cara mengikuti Ali bin Abi Thalib ketika pergi ke mesjid untuk menunaikan shalat Shubuh.
Tatkala Ali bin Abi Thalib menunaikan shalat shubuh, beliau ditikam dari belakang oleh Abdurrahman bin Muljam.
Khalifah Ali bin Abi Thalib wafat pada tahun 40 Hijriah atau 661 Masehi, dalam usia 63 tahun, setelah memerintah 4 tahun 9 bulan. Setelah Khalifah Ali wafat, kemudian Hasan bin Ali dinobatkan menjadi Khalifah yang berkedudukan di Kufah.


BAB III
PENUTUP


Mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada Ali dinamakan periode Khilafah Rasyidah. Para khalifahnya disebut al-Khulafa’ al-Rasyidun, (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah para khalifah betul-betul menurut teladan Nabi. Mereka dipilih melalui proses musyawarah, yang dalam istilah sekarang disebut demokratis. Setelah periode ini, pemerintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa khilafah Rasyidah, tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan; Mereka selalu bermusyawarah dengan pembesar-pembesar yang lain.





















DAFTAR PUSTAKA

Syafi’i, A dan Sabil Huda. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Bandung : CV. Armico
Mahmudunnasir, Syed. 2005. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Yatim, Badri dan AR Sirojuddin. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam 1. Jakarta : Ditjen Binbaga Islam
Rasyidi, Badri, Dkk. 1987. Sejarah Islam 3. Bandung : CV Armico
http://aaiil.org/indonesia/indonesianbooksislamahmadiyya/muhammadali/khulafarasyidinearlycaliphate/khulafarasyidinearlycaliphate.pdf
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/10/1/pustaka-151.html






















[1] Yatim, Badri dan AR Sirojuddin. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam 1. Jakarta : Ditjen Binbaga Islam
[2]http://aaiil.org/indonesia/indonesianbooksislamahmadiyya/muhammadali/khulafarasyidinearlycaliphate/khulafarasyidinearlycaliphate.pdf
[3] Yatim, Badri dan AR Sirojuddin. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam 1. Jakarta : Ditjen Binbaga Islam
[4] Rasyidi, Badri, Dkk. 1987. Sejarah Islam 3. Bandung : CV Armico
[5] Yatim, Badri dan AR Sirojuddin. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam 1. Jakarta : Ditjen Binbaga Islam
[6]http://aaiil.org/indonesia/indonesianbooksislamahmadiyya/muhammadali/khulafarasyidinearlycaliphate/khulafarasyidinearlycaliphate.pdf
[7]http://aaiil.org/indonesia/indonesianbooksislamahmadiyya/muhammadali/khulafarasyidinearlycaliphate/khulafarasyidinearlycaliphate.pdf
[8] Rasyidi, Badri, Dkk. 1987. Sejarah Islam 3. Bandung : CV Armico

[9] Yatim, Badri dan AR Sirojuddin. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam 1. Jakarta : Ditjen Binbaga Islam
[10] Yatim, Badri dan AR Sirojuddin. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam 1. Jakarta : Ditjen Binbaga Islam
[11] Syafi’i, A dan Sabil Huda. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Bandung : CV. Armico
[12] Mahmudunnasir, Syed. 2005. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
[13] http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/10/1/pustaka-151.html
[14] Mahmudunnasir, Syed. 2005. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
[15] Syafi’i, A dan Sabil Huda. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Bandung : CV. Armico
[16] Syafi’i, A dan Sabil Huda. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Bandung : CV. Armico
[17] Syafi’i, A dan Sabil Huda. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Bandung : CV. Armico
[18] Syafi’i, A dan Sabil Huda. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Bandung : CV. Armico
[19] Rasyidi, Badri, Dkk. 1987. Sejarah Islam 3. Bandung : CV Armico
[20]http://aaiil.org/indonesia/indonesianbooksislamahmadiyya/muhammadali/khulafarasyidinearlycaliphate/khulafarasyidinearlycaliphate.pdf
[21] Rasyidi, Badri, Dkk. 1987. Sejarah Islam 3. Bandung : CV Armico
[22] Syafi’i, A dan Sabil Huda. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Bandung : CV. Armico
[23] Syafi’i, A dan Sabil Huda. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Bandung : CV. Armico
[24] Syafi’i, A dan Sabil Huda. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Bandung : CV. Armico
[25] Syafi’i, A dan Sabil Huda. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Bandung : CV. Armico
[26] Syafi’i, A dan Sabil Huda. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Bandung : CV. Armico

[27] Rasyidi, Badri, Dkk. 1987. Sejarah Islam 3. Bandung : CV Armico
[28]http://aaiil.org/indonesia/indonesianbooksislamahmadiyya/muhammadali/khulafarasyidinearlycaliphate/khulafarasyidinearlycaliphate.pdf
[29] Rasyidi, Badri, Dkk. 1987. Sejarah Islam 3. Bandung : CV Armico
[30] Rasyidi, Badri, Dkk. 1987. Sejarah Islam 3. Bandung : CV Armico
[31]http://aaiil.org/indonesia/indonesianbooksislamahmadiyya/muhammadali/khulafarasyidinearlycaliphate/khulafarasyidinearlycaliphate.pdf
[32] Syafi’i, A dan Sabil Huda. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Bandung : CV. Armico
[33] Syafi’i, A dan Sabil Huda. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Bandung : CV. Armico
[34] Syafi’i, A dan Sabil Huda. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Bandung : CV. Armico
[35] Rasyidi, Badri, Dkk. 1987. Sejarah Islam 3. Bandung : CV Armico

Tidak ada komentar:

Posting Komentar